Beranda | Artikel
Shalat Ghaib Dalam Fikih Islam
Rabu, 15 Agustus 2018

SHALAT GHÂIB DALAM FIKIH ISLAM

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Sudah dimaklumi bahwa pada asalnya shalat jenazah dilakukan pada mayit yang ada dihadapan imam dan jamaah yang shalat serta jenazah diletakkan di tanah ke arah kiblat. Namun terkadang mayitnya jauh dan tidak ada dihadapan orang yang shalat. Dari sinilah muncul istilah shalat ghâib yaitu menyhalatkan jenazah atau mayit yang tidak ada dihadapan orang yang menyhalatkannya dengan tata cara yang sama dengan tata cara shalat jenazah.

Ada beberapa riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya terhadap beberapa Sahabat yang wafat jauh dari kota Madinah dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menyaksikan kematian dan penguburannya. Para Sahabat tersebut Radhiyallahu anhum berjumlah empat orang seperti disampaikan banyak riwayat, yaitu: an-Najâsyi Raja Habasyah, Mu’awiyah bin Mu’âwiyah al-Laitsi atau al-Muzani, Zaid bin Hâritsah dan Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum.

Riwayat-riwayat ini ada yang shahih dan ada yang lemah. Riwayat yang shahih hanya pada kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib pada an-Najâsyi, selain itu, riwayatnya lemah sekali. Sehingga Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan pada biografi an-Najâsyi, “Dia wafat di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib atasnya bersama para Sahabat Radhiyallahu anhum dan tidak benar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib pada selainnya. [Siyar A’lam Nubala` 1/428-429]

PENSYARIATAN SHALAT GHAIB
Para Ulama fikih berbeda pendapat tentang pensyariatan shalat ghâib dalam beberapa pendapat:

1. Shalat ghâib disyariatkan dan boleh dilakukan pada Muslim yang wafat di negara lain. Ini adalah pendapat asy-Syâfi’iyah dan riwayat yang masyhur dari Ahmad rahimahullah dan menjadi pendapat mu’tamad dalam madzhab Hanâbilah. (lihat al-Umm 1/308, Kasyâf al-Qinâ’ 2/121, al-Majmû’ 5/252 dan Kifayatul Akhyâr 1/163). Juga pendapat Ibnu Hazm azh-Zhâhiri rahimahullah dan mayoritas Salaf [lihat al-Muhalla 3/399 dan Nailul Authâr 4/560].

Dalil pendapat ini:
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap an-Najâsyi, seperti dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى لِلنَّاسِ )وهو بالمدينة( النَّجَاشِيَّ )أَصْحَمَهْ( )صَاحِبَ الْحَبَشَةِ( فِي  الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ  ) قَالَ: إِنَّ أَخًا قَدْ مَاتَ (وفي رواية: مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ للهِ صَالِحٌ) )بِغَيْرِ أَرْضِكُمْ( )فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا عَلَيْهِ( ، )قَالُوْا: مَنْ هُوَ؟ قَالَ النَّجَاشِيُّ( )وَقَالَ: اسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ( ، قَالَ: فَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى  (وفي رواية: البَقِيْعِ) )ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَفُّوْا خَلْفَهُ( )صَفَّيْنِ( ، )قَالَ: فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ كَمَا يُصَفُّ عَلَى الْمَيِّتِ  وَصَلَّيْنَا عَلَيْهِ كَمَا يُصَلَّى عَلَى الْمَيِّتِ( )وَمَا تُحْسَبُ الْجَنَازَةُ إِلاَّ مَوْضُوْعَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ( )قَالَ: فَأَمَّنَا وَصَلَّى عَلَيْهِ( ، وَكَبَّرَ(عَلَيْهِ) أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang berada di Madinah) pernah mengumumkan berita kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya), (Mereka berkata : “Siapakah dia itu?” Beliau menjawab : “an-Najâsyi”) (Beliau juga bersabda : “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini”). Perawi hadits ini pun bercerita : Maka Beliau berangkat ke tempat shalat (dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Ke kuburan Baqi). (Setelah itu, Beliau maju dan mereka pun berbaris di belakang Beliau (dua barisan) (dia bercerita : “Maka kami pun membentuk shaff di belakang Beliau sebagaimana shaff untuk shalat jenazah dan kami pun menshalatkannya sebagaimana shalat yang dikerjakan atas seorang jenazah). (Dan tidaklah jenazah itu melainkan diletakkan di hadapan Beliau)” (Dia bercerita : “Maka kami bermakmum dan Beliau menshalatkannya). Seraya bertakbir atasnya sebanyak empat kali”.

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (III/90,145,155 dan 157), Muslim (III/54), dan lafazh di atas miliknya. Juga Abu Dawud (II/68-69), an Nasâ`i (I/265 dan 280), Ibnu Mâjah (I/467), al-Baihâqi (IV/49), ath-Thayâlisi (2300), Ahmad (II/241, 280, 289, 348, 438, 439, 479,539) melalui beberapa jalan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [Diambil dari Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 89]

Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyhalat jenazah di atas kuburan mayit apabila belum sempat menyhalatkannya sebelum itu. Padahal jelas mayit yang dalam kuburan adalah ghâib. Kalau demikian maka diperbolehkan juga shalat ghâib sesuai dengan hukum asalnya. [lihat al-Majmû’ 5/247-249]

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: Diantara Sunnah Beliau adalah apabila ketinggalan Shalat atas jenazah, maka Beliau Shalat diatas kubur, pernah setelah semalam, pernah setelah tiga hari dan pernah setelah sebulan (dari kematiannya) dan tidak menentukan batasan waktu dalam hal ini. [Zâd al-Ma’âd 1/512].

2. Shalat ghâib tidak disyariatkan. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah dan Mâlikiyah (Hâsyiyah Ibnu Abidin 2/309, Syarhul Khirasyi 3/142 dan adz-Dzakhîrah 2/467) serta satu riwayat dari Ahmad [lihat al-Mughni 2/382]

Dalil pendapat ini:
(a). Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat ghâib terhadap mayit an-Najâsyi adalah kekhususan untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

(b). Banyak Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyhalatkannya. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat semangat untuk menyhalatkan mereka hingga menyatakan:

فَلا يَمُوتَنَّ بَيْنَكُمْ أَحَدٌ مَا دُمْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا آذَنْتُمُونِي؛ فَإِنَّ صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ.

Jangan sampai ada salah seorang yang wafat diantara kalian selama aku ada diantara kalian kecuali harus memberitahukan aku, karena shalatku adalah rahmat baginya [HR. An-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 88]

(c). Tidak ada berita shalat ghâib dilakukan setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan juga kaum Muslimin tidak melakukan shalat ghâib terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal tidak semua kaum Muslimin menghadiri shalat jenazah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.

(d). Diantara syarat sah shalat Jenazah adalah adanya jenazah, seperti disampaikan dalam kitab ad-Durul Mukhtâr, “ Diantara syarat shalat jenazah adalah ada mayit dan diletakkannya dihadapan orang yang menyhalatkannya dan berada diarah kiblat sehingga tidak sah untuk yang ghâib. [ad-Durul Mukhtâr yg ada bersama Hâsyiyah ibnu ‘Âbidin, 2/208].

3. Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang mati dan belum dishalatkan. Ini sebuah pendapat dalam madzhab Ahmad bin Hambal dan dirajihkan oleh Abu Dawûd, al-Khathâbi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh al-Albâni dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahumullah. [lihat ‘Aunul Ma’bud 9/5; Ma’âlim as-Sunan, 1/270; Zâd al-Ma’âd, 1/520; al-Ikhtiyarât al-Ilmiyah, hlm. 51; Nailul Authâr, 4/57; Ahkâm al-Janâ`iz, hlm. 89-91]

Dalil pendapat ini:
(a). Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang Shalat ghâib terhadap an-Najâsyi yang sudah ada dalam dalil pendapat pertama. Imam Abu Dawûd rahimahullah membuat Bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal di Negara Orang Musyrik. Lalu Imam al-Khathâbi rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “an-Najâsyi adalah seorang Muslim yang telah beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan kenabiannya, namun masih menyembunyikan keimanannya. Tentunya seorang Muslim bila mati maka wajib bagi kaum Muslimin untuk menshalatkannya. An-Najâsyi berada di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak ada orang yang mampu menunaikan haknya dalam shalat jenazah yang ada di sana. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan untuk melakukan shalat ghâib, sebab Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabinya dan walinya serta orang yang paling berhak atasnya. Wallahu a’lam ini adalah sebab yang mendorong Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghâib atasnya.

Berdasarkan hal ini, apabila seorang Muslim mati di sebuah negeri dan sudah ditunaikan haknya untuk dishalatkan, maka orang yang ada di negeri lain tidak melakukan lagi shalat ghâib. Apabila diketahui ia belum dishalatkan karena ada rintangan atau penghalang atau udzur, maka sunnahnya adalah dishalatkan shalat ghâib dan tidak dibiarkan hanya karena jauhnya jarak. Mereka shalat dan menghadap Kiblat dan tidak menghadap ke negeri mayit apabila berada tidak di arah kiblat. (Ma’âlim as-Sunan 1/`270). Ar-Ruyâni –yang bermadzhab asy-Syâfi’i – juga secara baik menyampaikan pendapat yang sama seperti pendapat al-Khathâbi, yang ini juga merupakan pendapat Abu Dawûd t , di mana dia menerjemahkan hadits tersebut di dalam kitab Sunannya melalui bab tersendiri yang dibuatnya, yaitu “Bab fî ash-Shalâh ‘alâl Muslimi Yamûtu fî Bilâdi asy-Syirk (Bab Shalat Jenazah Atas Orang Muslim Yang Meninggal di Negara Orang Musyrik)”. Dan pendapat tersebut menjadi pilihan Syaikh Shâlih al-Maqbûli rahimahullah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Nailul Authâr (4/43).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di suatu negara yang tidak ada seorang pun yang menyhalatkan di negara tersebut, maka dia perlu dishalatkan dengan shalat ghâib, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap jenasah an-Najâsyi. Karena dia meninggal di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak ada yang menyhalatkannya.Seandainya dia sudah dishalatkan di tempat dia meninggal dunia, maka dia tidak dishalatkan dengan shalat ghâib atas jenazahnya. Sebab, kewajiban itu telah gugur dengan shalatnya kaum Muslimin atas dirinya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ghâib dan meninggalkannya. Sedang apa yang dikerjakan dan apa yang beliau tinggalkan merupakan sunnah. Dan ini menempati porsinya masing-masing. Wallahu a’lam [Zâd al-Ma’âd 1/520-521].

Sedangkan ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bukan petunjuk dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan Shalat ghâib bagi setiap orang yang meninggal dunia. Sebab, cukup banyak kaum Muslimin yang meninggal dunia sedangkan mereka jauh dari Rasûlullâh, namun Beliau tidak menshalatkan mereka dengan Shalat ghâib. [Zâdul Ma’âd (I/205-206)].

(b). Berargumen dengan sebagian riwayat yang berbunyi:

إِنَّ أَخًا قَدْ مَاتَ بِغَيْرِ أَرْضِكُمْ فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا عَلَيْهِ

Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di luar daerah kalian. karenanya, hendaklah kalian menshalatinya.

Riwayat ini menunjukkan bahwa shalat ghâib disyariatkan apabila mayit meninggal di daerah yang tidak ada seorangpun yang menshalatkannya.

(c). Dan di antara yang memperkuat tidak disyariatkannya shalat ghâib bagi setiap orang yang meninggal di tempat yang jauh adalah riwayat yang menyebutkan, ketika para Khulafa-ur Rasyidin dan juga yang lainnya meninggal dunia, tidak ada seorangpun dari kaum Muslimin yang mengerjakan shalat ghâib atas mereka. Seandainya mereka mengerjakan hal tersebut, sudah barang tentu nukilan dari mereka mengenai hal tersebut benar-benar mutawatir. [Ahkâm al-Janâ`iz hlm 93].

4. Shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada orang yang belum dishalatkan dan pada orang yang terkenal sebagai orang shaleh dan perintis kebaikan. Ini adalah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dinukilkan Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-fatawa al-Kubra (4/444). Imam Ahmad rahimahullah menyatakan: Apabila mati orang yang shalih maka dishalatkan. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Abdurrahmân As-Sa’di rahimahullah dan Syaikh Bin Bâz rahimahullah.  Syaikh al-Basâm rahimahullah berkata:  Guru kami Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah merajihkan perincian ini. Inilah yang diamalkan di Najd. Mereka melakukan Shalat ghâib untuk orang yang memiliki jasa besar terhadap kaum Muslimin dan tidak melakukannya pada selain mereka dan hukum Shalat ini adalah Sunnah [Nailul Ma’ârib 1/324].

Dalil pendapat ini adalah kisah an-Najâsyi, dimana an-Najâsyi adalah seorang tokoh yang sangat berjasa kepada kaum Muslimin dengan mendukung dan melindungi para Sahabat yang berhijrah ke Habasyah.

5. Shalat ghâib hanya boleh dilakukan pada hari kematiannya atau dekat-dekat dengan hari itu dan tidak boleh bila sudah lama. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbarr rahimahullah dari sebagian ulama. [Lihat Fathul Bâri 3/431-432 dan Nailul Authâr 4/560]

Dalil pendapat ini adalah riwayat dari kisah Shalat ghâib untuk an-Najâsyi, dimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى لِلنَّاسِ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ [قَالَ: إِنَّ أَخًا قَدْ مَاتَ (وفي رواية: مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ للهِ صَالِحٌ) [بِغَيْرِ أَرْضِكُمْ] [فَقُوْمُوْا فَصَلُّوْا عَلَيْهِ] ،

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  pernah mengumumkan berita kematian an-Najâsyi (Ash-hamah) (Raja Habasyah) kepada orang-orang pada hari kematiannya. (Beliau bersabda : “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia –dan dalam sebuah riwayat disebutkan : Pada hari ini, hamba Allah yang shalih telah meninggal dunia) (di luar daerah kalian) (karenanya, hendaklah kalian menshalatinya)”.

Riwayat ini menunjukkan Shalat ghâib disyariatkan pada hari kematiannya atau dekat-dekat dengan hari tersebut.

6. Diperbolehkan shalat ghâib apabila mayit meninggal di negeri yang ada di arah kiblat saja dan bila tidak di arah kiblat maka tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat Ibnu Hibbân (Shahih Ibnu Hibbân 7/366). Al-Muhib ath-Thabari menyatakan: Aku tidak mendapatkannya pada selain beliau [lihat Fathul Bâri 3/432].

Dalil pendapat ini disampaikan langsung oleh Ibnu Hibbân rahimahullah dalam pernyataan beliau: “ Sebab Shalat ghâib terhadap an-Najâsi dalam keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di negerinya (Madinah), karena negeri an-Najâsyi terletak di arah kiblat. Hal itu karena negara Habasyah apabila seorang berdiri di Madinah maka ia berada di belakang Ka’bah dan Ka’bah terletak diantara orang tersebut dengan negeri Habasyah. Apabila mayit meninggal dan dikuburkan kemudian diketahui kematiannya di negara lain. Sedangkan negara tempat dikuburkannya dan negaranya berada diantara Ka’bah, maka boleh melakukan Shalat ghâib. [Shahih Ibnu Hibân 7/366-367].

PENDAPAT YANG RAJIH.
Pendapat yang rajih adalah pendapat ketiga yang menyatakan shalat ghâib tidak disyariatkan kecuali pada mayit yang belum dishalatkan, karena kuatnya dalil dan argumentasinya. Sedangkan alasan kisah an-Najâsyi adalah kekhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak benar dan lemah, karena pada asalnya hal itu bukan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dalil dan dasar yang kuat.  Imam al-Baghâwi t menyatakan: “Mereka menganggap bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhususkan dalam perbuatannya tersebut. Ini adalah lemah karena meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya adalah wajib kifayah selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak boleh menetapkan pengkhususan disini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan Shalat ghâib sendirian dan melakukannya bersama para Sahabatnya. [Syarhus Sunnah 5/341-342].

Oleh karena itu Komite tetap untuk Fatwa kerajaan Saudi Arabia (Lajnah Da`imah) ketika ditanya tentang bolehkah Shalat ghâib seperti yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada an-Najâsyi atau itu khusus untuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ?. Mereka menjawab: Diperbolehkan Shalat ghâib berdasarkan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak khusus untuk Beliau saja, karena para Shahabat juga melakukan Shalat ghâib bersama Beliau untuk an-Najâsyi dan disebabkan asalnya adalah tidak dikhususkan (untuk Beliau saja). [Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ`imah 8/418].

Syaikh as-Sâ’ati berkata, “Kesimpulannya adalah pendapat yang mensyariatkan Shalat ghâib hujjahnya lebih kuat karena kesesuaian dengan dalil tanpa dipaksakan dan ta’wil. [al-Fathu ar-Rabbâni 7/2230].

Dengan demikian shalat ghâib disyariatkan pada Muslim yang mati di negeri kafir dan belum dishalatkan. Juga disyariatkan pada orang yang mati tenggelam atau mati terbakar atau mati dalam tawanan dan sejenisnya yang belum dishalatkan jenazahnya.

Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: Yang rajih adalah tidak dishalatkan seorang shalat ghâib kecuali belum dishalatkan jenazahnya. Pada zaman Khulafâ’ur Rasyîdîn banyak orang yang punya jasa atas kaum Muslimin yang mati dan tidak ada seorangpun dari mereka dishalatkan dengan Shalat ghâib. Pada asalnya dalam ibadah adalah tidak dilakukan hingga ada dalil yang mensyariatkannya. [Fatâwa Islâmiyah 2/18].

Demikianlah pembahasan seputar hukum Shalat ghâib yang disampaikan para Ulama, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9612-shalat-ghaib-dalam-fikih-islam.html